Berita

Asthabrata, Kepemimpinan Ideal untuk Jalankan Amanat Rakyat: Puncak Dies Natalis F. Sastra USD ke-31

29-05-2024 14:23:40 WIB

Di tengah kemunduruan demokrasi di Indonesia pra dan pasca Pemilu 2024 yang cenderung kembali ke model aristokratik otoritarian, perlu dicari pemecahan persoalan dengan cara melakukan refleksi model-model kepemimpinan tradisional Jawa. Asthabrata, atau delapan sifat keutamaan pemimpin dalam budaya Jawa untuk mensejahterakan rakyatnya, dapat dijadikan sebagai jawaban untuk memperbaiki rusaknya demokrasi di Indonesia. Delapan nilai-nilai kepemimpinan ini diadopsi dari sifat keagungan bathara tercatat dalam Serat Rama yang mengisahkan kehidupan Raja Rama. Nilai-nilai itu meliputi mewujudkan keindahan bumi (Bathara Indra), menegakkan hukum seadil-adilnya (Bathara Yama), menabur kebaikan kepada semua (Bathara Surya), menciptakan kedamaian (Bathara Candra), mengusahakan ketertiban perilaku manusia (Bathara Bayu), memenuhi kebutuhan dasar (Bathara Kuwera), menyingkirkan kejahatan (Bathara Baruna), dan menjaga keamanan dengan pasukan yang gagah berani (Bathara Brama).

Demikian dikatakan oleh Florentinus Galih Adi Utama, S.S., M.A., dosen Prodi Sejarah, Fakultas Sastra, USD dalam orasi ilmiahnya yang berjudul “Antara Progresi atau Regresi: Gagasan Kekuasan Jawa dalam Kehidupan Demokrasi di Indonesia” dalam acara Puncak Dies Natalis Fakultas Sastra USD ke-31, Rabu (29/5/24) di Ruang Koendjono Lt. 4 Gedung Administrasi Pusat Kampus II Mrican.


 
“Sebenarnya ajaran asthabrata sudah ada pada pemimpin Indonesia saat ini, namun kepemimpinan ini dibayang-bayangi oleh implikasi “melestarikan” pemegang kekuasaan. Jika kekuasaan ini wariskan pada anak cucunya, bukan tidak mungkin gaya pemerintahan akan berubah menjadi sekehendak hati karena wewenangnya hampir menyerupai otoritas seorang raja tradisional. Untuk itu, dalam penerapan asthabrata perlu disertai dengan pendidikan etika politik”, tegasnya.

Selain itu pendidikan moral harus menjadi bagian integral tak terpisahkan dengan kekuasaan dalam demokrasi Pancasila seperti yang dijalankan di Indonesia saat ini.

“Dengan demikian, penerapan ajaran tradisional tidak dapat dimaknai sebagai kemunduran demokrasi (regresi), tetapi justru sebaliknya maju dengan lebih baik (progresi). Biar bagaimanapun, demokrasi Pancasila lahir dari masyarakat dan kebudayaan yang khas Indonesia”, tambahnya.
 
Sementara itu dalam sambutannya, Dekan Fakultas Sastra Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum. mengemukakan paradigma baru dalam kepemimpinannya. Dasar pembaharuan ini diawali dengan perubahan motto dari “Cerdas, Humanis, dan Kreatif” seperti dalam Renstra 2019-2023 menjadi “Kritis, Humanis, Kreatif”.

“Cerdas mengarah pada kemampuan kognitif, logis, matemtatis, dan lingistis, tetapi kritis terkait dengan pemikiran analitis dan evaluatif”, kata Dekan FS USD yang juga penyair dan cerpenis tersebut. “Pemikiran kritis melibatkan kemampuan untuk menganalisis informasi, mengevaluasi argumen, mengidentifikasi bias, dan membangun kesimpulan yang logis”, tegasnya.  



Menurut Yapi, individu yang kritis tidak hanya menerima informasi begitu saja tetapi mempertanyakan dan menyelidiki validitas serta relevansinya. Pemikiran kritis mencakup kesadaran terhadap konteks sosial, politik, dan budaya.

“Ini melibatkan refleksi mendalam tentang implikasi dari suatu informasi atau tindakan. Seseorang yang berpikir kritis mampu melihat berbagai perspektif dan memahami kompleksitas isu-isu yang dihadapi”, lanjutnya.  

Perubahan paradigma ini berimplikasi pada peningkatan kemampuan untuk mengasah kesadaran terhadap isu-isu sosial, politik, dan ekonomi serta memahami implikasinya dalam kehidupan sehari-hari.

“Dengan demikian, revitalisasi matakuliah cultural studies dengan teori-teori kritisnya menjadi penting, perlunya program studi ilmu sosial, cita-cita menjadikan Fakultas Sastra menjadi centre of excellence, peningkatan kualitas SDM, organisasi kemahasiswaan fakultas dan ikatan alumni”, sambung orang nomor satu di Fakultas Sastra USD itu. “Konsekuensinya, kita perlu membangun new branding, baik fisik dan non-fisik”, simpulnya.

 
Hadir dalam acara ini adalah Rektor USD Rm. Albertus Bagus Laksana, S.J., Ph.D., perwakilan Yayasan Sanata Dharma, para Dekan di lingkungan USD, para Kaprodi serumpun, purnakarya, para dosen dan tenaga kependidikan, serta perwakilan mahasiswa empat prodi di Fakultas Sastra. Dalam sambutannya Rektor menyatakan bahwa Fakultas Sastra memiliki celah dan medan untuk melakukan formasi kaum mudah lebih besar lagi melalui figur dan gagasan lokalitas, semisal Tan Malakan, Rm. Y.B. Mangunwijaya, Sahrir, Eka Kurniawan, bukan sekedar gagasan kritis yang diusung oleh orang asing seperti dipaparkan dalam revitalisasi kurikulum dengan muatan cultural studies di Fakultas Sastra.



“Nilai-nilai asketis seperti ajaran “laku” untuk mencapai kedalaman spiritual yang formatif seharusnya juga dimiliki oleh para pemimpin kita”, tegas Rektor menyambung gagasan orasi ilmiah Galih. “Budaya spiritual “laku” akan menghindarkan kita dari perangkap kapital dalam kepemimpinan”, tambahnya. Rm. Bagus berharap melalui momen dies ini Fakultas Sastra mampu menyumbangkan celah formatif dengan bekerja keras bidang tridarma dan berkarakter spiritual asketis.
 
Dalam kesempatan ini pula, diberikan pengharagaan kepada para mahasiswa berprestasi dari empat prodi di Fakultas Sastra. Agnes Seraphine dari prodi Sastra Inggris sebagai pendiri dan pegiat Lit Collective, menjuarai beberapa lomba menulis, serta peraih beasiswa IISMA. Penghargaan juga diberikan kepada Juara II Tarung Nasional Bebas (Kickboxing dan Tinju) Sebastian Alfa Omega Rindo (Sastra Inggris).



Dari Sastra Indonesia penghargaan disampaikan kepada Maria Tatag Prihatiningtyas Wigati (bidang akademik) sebagai penulis artikel di Jurnal Ilmiah akreditasi Sinta 3 dan bidang non-akademik Ananda Aditya Firdaus sebagai penulis “Antologi Puisi Mawar Merah untuk Kekas”. Mahasiswa prodi Sejarah yang berprestasi adalah Vincentia Prasetya Anggraeni Pangestu sebgai pembicara dalam seminar sebagai penulis cerpen serta Ghina Nazla Salsabila sebgai pembicara dalam seminar dan berbagai diskusi. Sementara itu mahasiswa dari Program Studi Sastra Program Magister Stevanny Yosicha Putri memperoleh penghargaan pengerjaan tesis tercepat dan penulisan artikel jurnal.


Perayaan puncak dies yang dihadiri sekitar 250 dosen, tendik, mahasiswa, dan tamu undangan ini merupakan rangkaian dari acara Perayaan Dies Natalis Fakultas Sastra ke-31 yang sebelumnya telah diawali dengan Misa Syukur Dies Natalis (26/4) di tempat yang sama, Lomba Penulisan Puisi yang sedah berlangsung sebulan, dan malam ekspresi “Sastra Spotlight: Wajah-wajah Manusia” (29/5) yang menampilkan berbagai ekspresi seni dari dosen, tendik, dan mahasiswa (Tti)

Kembali