Berita

PENDALAMAN SPIRITUALITAS IGNASIAN MELALUI FILM “SELAMAT TINGGAL BARA”

08 April 2025

Pada Rabu - 26 Maret 2025 pukul 16.30-19.00 - telah diselenggarakan sebuah acara nobar film dan diskusi dalam suasana santai di Studio Audio Visual – Universitas Sanata Dharma (USD), Sinduharjo, Ngaglik, Sleman. Acara yang digelar di kompleks Kampoeng Media ini  bertajuk “Membangun Relasi yang Sehat di Tengah Fenomena ‘Toxic Relationship’”.  Tema ini tidak jauh dari salah satu Preferensi Kerasulan Serikat Yesus (UAP), yaitu pendampingan orang muda. Titik tolak refleksi adalah film “Selamat Tinggal Bara.” Sebelum memulai acara, para pemirsa menikmati “jajanan pasar” sederhana sambil berkenalan satu sama lain. Acara ini dapat terselenggara berkat dukungan dari Universitas Sanata Dharma. Film ditayangkan pada layar lebar  di dalam studio kedap suara yang bisa menampung puluhan pemirsa.

 

                                                   Undangan

 
Film  pendek  (fiksi) berdurasi 37 menit ini merupakan hasil kolaborasi antara  mahasiswa Sastra Indonesia (USD) Semester VII (peserta matakuliah sinematografi) dan SAV-USD berdasarkan skenario yang ditulis oleh Romo Murti SJ.  Film  ini menyajikan kisah relasi posesif Bara (Gemma Antero)  terhadap Renjana (Denting). Keduanya masih berstatus mahasiswa. Renjana sejak kecil mendambakan figur ayah yang penuh perhatian. Ia terjebak dalam relasi dengan Bara yang sejak kecil tidak mengenal ayah maupun ibunya. Bara bersikap sangat posesif. Renjana dipaksa memutus hubungan dengan teman-teman lainnya, bahkan dengan Larasati, ibunya sendiri (Ricna Saventika). Renjana menjadi bingung, bahkan ingin mengakhiri hidupnya, tetapi ketahuan oleh ibunya. Sejak itu Renjana didampingi oleh ibunya untuk bisa mengambil jarak terhadap Bara. Tentu saja Bara juga terpukul, karena tanpa Renjana hidupnya hancur.
Setelah selesai nonton, diadakan sharing dan diskusi baik dari para pemirsa maupun narasumber (Ibu Brigitta Erlita, T.A., M.Psi. dan Kak Stella Vania P., M.Psi., Psikolog). Sharing dan diskusi dipandu oleh Rm. Murti SJ.   Film yang disutradari oleh Dipta Nariswara, Galih Samodra dan Grace Tania ini sangat menyentuh emosi para pemirsa, termasuk para narasumber,  menimbulkan diskusi yang hangat.
 

                                      Tanggapan  narasumber
Para pemirsa yang terdiri dari orang tua, dosen, pegiat media, mahasiswa, biarawan-biarawati, para guru, dan OMK berpendapat bahwa film ini sangat relevan dengan fenomena orang-orang muda zaman sekarang yang mudah terjerat oleh relasi yang tidak sehat (beracun). Menurut Ibu Erlita, sebetulnya pada zaman dulu fenomena itu sudah ada, tetapi pada zaman digital ini, fenomena itu lebih viral karena diberitakan oleh media sosial. Menurut Kak Vania, tidak banyak di antara orang muda yang sadar akan relasi yang tidak sehat ini. Bila terjadi tindak kekerasan, mesti ada lobang dalam hidup pelakunya, ada kekosongan yang harus diolah, dicari akarnya dan diatasi.
 

                                 Sharing dan refleksi bersama
 Suasana keseluruhan film ini mewartakan nada pengharapan. Tandanya Renjana bisa mengambil jarak terhadap Bara, sehingga hidupnya lebih tenang. Ia berani berhadapan dengan Bara untuk menyelesaikan persoalannya. Di akhir film, Bara juga tampak sedang mengolah diri di suatu tempat yang hening. Dalam bahasa spiritualitas Ignasian, orang harus berani melepaskan diri dari rasa lekat tak teratur, supaya keputusan-keputusannya diambil secara merdeka dan tidak membuat orang lain tertekan dan dirinya sendiri merasa merdeka. Kiranya orang-orang muda perlu mendapat pendampingan dalam mengolah gejolak hidupnya. Oleh sebab itu, film ini juga layak ditonton oleh orang tua yang mempunyai tanggungjawab pendampingan bagi anak-anaknya. Beberapa pemirsa mengusulkan agar disiapkan sekuel yang ke dua dari film ini.
 

                               Para Peserta Nobar dan Diskusi

 
Sharing dan diskusi berlangsung dengan hangat  dan ceria, tetapi waktu amat terbatas. Pada akhir diskusi, Ibu Erlita berpesan agar kita jangan menyalahkan orangnya, tetapi perlu mengevaluasi pola relasi yang tidak sehat itu. Generasi muda sekarang harus berani menghadapi kesulitan, agar menjadi kuat.  Sedangkan Kak Vania  menegaskan bahwa membangun relasi yang sehat harus dimulai dari diri sendiri. Kita semua mesti belajar melepaskan diri dari hal-hal yang menjerat hidup kita. Bebas dari rasa lekat tak teratur membuat  hidup kita merdeka dan mencapai tujuan hidup yang membahagiakan. (Peliput: Yoseph Ispuroyanto SJ).

Kembali