FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA

“Kluyuran” Ke Monumen Pers Nasional dan Reksopustaka

Semenjak nama Joko Widodo meroket ke belantara politik, terminologi blusukan terasa bermakna penting. Dalam kultur Jawa, istilah tersebut hanya sebetulnya memerikan perilaku yang dianggap “tak tertib” menurut kebiasaan. Kendati demikian, pada sisi lain, istilah itu bisa digunakan untuk menggambarkan “militansi” suatu tindakan manusia dewasa yang patut dibanggakan.
 
Mahasiswa angkatan 2015 dan angkatan 2014 Prodi Sejarah, Fakultas Sastra, USD juga melakukan kegiatan serupa pada 11 November 2016. Namun kami menamainya “kluyuran sejarah”: menjelajahi “pedalaman” Monumen Pers Nasional dan Reksopustaka Mangkunegaran Surakarta yang berisi tumpukan arsip.
 
Bagi mahasiswa sejarah, bercengkrama dengan segepok arsip lama merupakan suatu kelumrahan. Bersama dengan dokumen ini, para (calon) sejarawan muda mampu membuat dan melihat bagaimana data ini bercerita. Bersama arsip ini, jiwa masyarakat zaman itu dapat tercerminkan. Bertandang ke Monumen Pers Nasional, perkembangan sejarah media massa dapat didedah sekaligus menguji teori dalam mata kuliah Kajian Media Massa. Sedangkan kluyuran ke Perpustakaan Reksopustaka Mangkunegaran guna memahami jejak sejarah abad XVI-XVIII yang banyak terekam dalam serat kuna, dan kebetulan naskahnya tersedia di sana.
 
Namun bagi sebagian mahasiswa sejarah, arsip (data) sejarah ialah hal yang menyebalkan. Kadang muncul pikiran untuk “bagaimana menghindar agar tidak perlu menggunakan arsip atau dokumen lama itu”. Maklum mengingat data tersebut memiliki karakteristik dan memerlukan perlakuan yang berbeda ketimbang hanya membaca buku. Tapi, apakah menghindari arsip merupakan hal bijak? Kami rasa tidak. Perlu dibangun suatu hubungan mesra antara sejarawan dan arsip. Layaknya seorang nahkoda dengan kapalnya, sejarawan adalah nahkoda lautan sejarah yang mengemudikan arsip ini dengan metode yang benar, agar kapal sejarah mampu mencapai tujuannya, yakni mendekati kebenaran sejarah. Ya, arsip adalah peninggalan yang terberi oleh masa silam kepada kita. Maka, janganlah sia-siakan warisan “harta karun” tersebut (Andhika Gilang Nugroho).

Kembali