Berita

Copywriter di Dunia Digital Harus Adaptif

31-05-2021 15:41:14 WIB 

Hadirnya teknologi digital mengubah cara manusia untuk berkomunikasi, bersosialisasi, bahkan, berbisnis. Media digital yang awalnya digunakan untuk berjejaring, dapat pula dipakai untuk berjualan, bahkan oleh perusahaan-perusahaan besar sekalipun. Salah satu profesi yang potensial memanen rezeki dari fenomena ini adalah copywriter atau penulis wara asalkan mereka mampu beradaptasi.

Gagasan tersebut disampaikan Budiman Hakim atau Om Bud dalam kuliah umum “Storytelling dalam Iklan” di Program Studi Sastra Indonesia USD, Jumat (21/5).

“Untuk pertama kalinya dalam sejarah, manusia diberikan dunia alternatif untuk beraktivitas. Dunia itu disebut dengan dunia digital. Hal ini adalah hal yang tak pernah terpikirkan sebelumnya karena sekonyong-konyong aktivitas manusia berpindah tempat dari dunia nyata ke dunia maya,” tutur salah satu pendiri biro iklan MACS909 ini ketika mengawali kuliah umum.

Menurut Om Bud, dengan adanya dunia digital ini, orang mampu berinteraksi secara masif, murah, dan cepat. Semua orang berpaling ke dunia digital dan sebagian besar kegiatan di dunia nyata jadi ditinggalkan.

“Akibatnya cukup mengerikan. Bagi yang tidak siap, berbagai toko-toko besar pun tutup. Banyak perusahaan besar gulung tikar. Brand bergengsi seperti Nokia pun bangkrut. Kesalahan mereka adalah mereka tidak siap dengan adanya perubahan tersebut,” kata Om Bud.

Efek yang ditimbulkan oleh dunia digital membuat penggunanya mampu melakukan interaksi yang sangat cepat dan intens. Begitu intens sehingga lingkup interaksinya pun menjelma menjadi percakapan seperti sesama teman. Oleh sebab itu, di dunia digital orang-orang menggunakan bahasa gaul. Perubahan interaksi ketika memasuki dunia digital ini juga berpengaruh terhadap bidang periklanan.

Menurut Om Bud, pengguna media digital atau khususnya media sosial, lebih nyaman saat menggunakan bahasa yang santai. Media daringseperti Detik.com atau Kompas.com juga ikut banting setir dengan menggunakan bahasa yang santai untuk mendekatkan diri dengan pengguna digital.

 

Media Digital Menjadi Pasar

Media digital dalam rupa gawai (gadget) membuat penggunanya tergantung dan enggan terpisah dari alat canggih tersebut. Terlebih lagi dengan hadirnya aplikasi-aplikasi obrolan (chat) seperti WhatsApp, Line, Telegram.

“Semua orang bisa berkomunikasi one on one sekaligus masuk menjadi anggota sebuah grup sehingga mereka merasa punya komunitas,” tambah Om Bud.

Om Bud berpendapat pada dasarnya manusia takut kesepian dan internet menjadi jawaban untuk menghadapi ketakutan tersebut. Dengan internet, orang menjadi merasa 24 jam terhubung dengan komunitas tempat mereka menjadi anggotanya.

Di sisi yang lain, komunitas-komunitas yang banyak di media digital tersebut justru kemudian dilihat sebagai pasar. Om Bud memberi contoh grup WA ibu-ibu kompleks yang diikuti istrinya.

“Ada yang jualan kain, ada yang jualan kosmetik, ada yang jualan macem-macem. Ada yang jual masakan. Jadi mereka menganggap grup WA itu adalah pasar,” terang Om Bud.

Orang-orang yang jeli melebarkan pandangannya tidak hanya di media obrolan, tetapi ke media sosial lain, seperti Twitter dan Instagram.

Masalahnya adalah orang-orang ini kesulitan untuk memasarkan produknya. Kesulitan itulah yang membuat pamor ilmu copywriting (penulisan wara) meningkat akhir-akhir ini. Bahkan, menurut Om Bud, perusahaan-perusahaan bisnis besar mulai mengalihkan cara promosinya ke media-media digital ini. Para copywriter senior pun banjir pesanan.

 

Menjadi Copywriter Digital

Ternyata iklan-iklan karya para copywriter senior ini dianggap Om Bud melempem. Setelah masalahnya diselidiki, Om Bud menemukan fakta, para copywriter kurang memahami perbedaan gaya komunikasi di media konvensional seperti reklame, koran/majalah, radio, atau televisi.

Media-media konvensional tersebut bersifat satu arah, sedangkan media digital menawarkan fitur komunikasi dua arah. Alhasil, cara copywriting di dua media tersebut tentu tidaklah sama.

“TV, koran, majalah, dan lain-lain punya kecenderungan untuk memasukkan info sebanyak-banyaknya dalam satu iklan. Kenapa demikian? Karena ketiadaan sarana interaksi membuat mereka perlu memberikan informasi yang lengkap dalam mengirim pesan,” jelas penulis buku Lanturan tapi Relevan ini.

Sementara itu, di media digital, cara tersebut tidak berlaku karena tidak memancing interaksi. Dalam media dua arah, interaksi menjadi kunci suksesnya komunikasi dan interaksi diciptakan dengan menyajikan informasi yang justru tidak lengkap.

“Jadi di media digital, justru lebih efektif kalau kita memberikan info sepotong-sepotong. Jadi yang harus diperhatikan adalah info tersebut harus dikemas sedemikian rupa sehingga mampu membangkitkan rasa ingin tahu orang terhadap pesan itu,” ujar Om Bud.

Copywriter digital sebaiknya bisa memilih untuk mencicil pesan iklan menggunakan kalimat yang menarik perhatian pembaca. Kalimat sederhana yang menyentuh kepentingan banyak orang akan lebih berdampak dalam iklan digital. Dalam hal ini diperlukan adanya “wawasan konsumen”, agar para copywriter dapat menulis iklan yang sesuai dengan target pasarnya.

Selain membuat pesan iklan yang tidak terlalu lengkap, hal yang diunggah juga harus yang menyentuh kepentingan pembaca agar mendapatkan respons yang baik.

Jadi, kuncinya adalah adaptasi. Pada bagian awal kuliah umum, Om Bud mendeskripsikan pentingnya menjadi adaptif dengan bercerita tentang dinosaurus yang punah.

“Punahnya dinosaurus itu membuktikan bahwa bukan yang kuat yang bisa bertahan. Bukan yang paling besar yang bisa bertahan. Yang bisa bertahan adalah yang mampu beradaptasi. Dengan adanya dunia digital ini, kita tinggal bertanya pada diri sendiri apakah ini berkah atau bencana. Ini semua bergantung pada bagaimana kita menyikapinya,” kata Om Bud mengutip nasihat dari sang ayah.

Kini bukan saatnya lagi untuk beriklan dengan bahasa yang baku dan narasi yang lengkap. Tips dari Om Bud ini diharapkan dapat menjadi ilmu bagi para peserta yang berminat menjadi copywriter digital. Apakah kalian juga berencana berkecimpung di bidang ini?

Kuliah umum “Storytelling dalam Iklan” masih dapat diakses di sini.

Penulis: Jhon Cipta Levrando, Resty Rosari Anindhita

 kembali