Berita

Storytelling Merupakan Perpaduan Soft Selling dan Covert Selling

25-05-2021 15:43:01 WIB 

Storytelling merupakan strategi berjualan yang memadukan cara beriklan secara menyenangkan (soft selling) dan yang terselubung (covert selling). Alhasil, orang suka dengan iklannya dan kadang tidak sadar bahwa itu adalah iklan.

Hal tersebut disampaikan Budiman Hakim atau lebih dikenal dengan Om Bud dalam kuliah umum “Storytelling dalam Iklan” di Prodi Sastra Indonesia USD, Jumat (21/5).

Om Bud menjelaskan, dalam dunia pemasaran dikenal empat cara berjualan, yaitu rough selling, hard selling, soft selling, dan covert selling. Adapun storytelling berada di irisan antara soft seling dan covert selling.

 

Rough Selling

Rough selling adalah cara berjualan yang kasar dan menyakiti hati calon pelanggannya. Om Bud menjelaskan cara ini sangat tradisional dan tidak mengena di hati konsumennya.

Strategi multilevel marketing (MLM) sering menggunakan cara ini. Calon konsumennya pun sering kecewa hingga marah ketika “ditipu” dengan cara berjualan MLM.

Om Bud bercerita sudah sering diundang teman untuk urusan bisnis. Ternyata begitu sampai di rumah teman tersebut, Om Bud bersama tamu undangan yang lain hanya mendapat presentasi tentang suatu produk. Bahkan, Om Bud pernah datang di tiga acara serupa dari tiga teman yang bebeda dan ternyata produk yang dijual sama.

Om Bud kecewa. Dia merasa mendapat janji untuk bekerja sama dalam urusan bisnis. Namun, yang didapatkan hanyalah penawaran barang a la MLM.

“Alangkah tidak bijaknya kalau kita berjualan seperti itu karena kita jadi benci dengan brand itu. Sales memang urusan departemen marketing, tetapi urusan branding itu urusan presdir sampai office boy dan sopir,” ungkap Om Bud.

 

Hard Selling

Hard selling merupakan cara berjualan yang janjinya terlalu muluk-muluk, luar biasa terlalu bombastis sehingga pelanggan sulit untuk percaya. Om Bud menyebutnya too good too be true.

“Apakah Anda mau punya bisnis yang bisa mendongkrak penghasilan minimal 100jt/bulan. Bahkan bisa Anda kerjakan secara sambilan lewat notebook dan gadget Anda dengan cara yang mudah?” kata Om Bud membacakan contoh iklan dengan metode hard selling.

Namun, banyak orang yang tidak tertarik karena janji yang ditawarkan kadang tidak rasional dan berlebihan.

 

Soft Selling

Soft selling adalah cara berjualan yang halus dan elegan. Om Bud mengatakan soft selling itu berjualan dengan anggun. Cara ini banyak disukai calon konsumen. Walaupun demikian, ada saja “tapi”-nya.

“Meskipun dilakukan secara halus, orang tentu saja tahu bahwa itu iklan sehingga mereka segan, malas untuk nge-share,” tutur Om Bud.

Om Bud memberi contoh iklan Chivas Regal. Iklan tersebut berisi puisi tentang Hari Ayah dari sang anak. Puisi tersebut dapat dikatakan menyentuh pembacanya.

soft selling

Covert Selling

Covert selling adalah metode beriklan dengan cara menyembunyikan brand-nya. Jadi orang tidak tahu atau tidak merasa bahwa ini adalah iklan. Akibatnya, orang dengan sukarela akan membagikan (share) iklan tersebut ke orang lain.

Cara ini menurut Om Bud kurang disukai orang-orang marketing. Bagi mereka, buat apa mahal-mahal membayar iklan tetapi brand-nya tidak dimunculkan.

“Padahal cara ini adalah cara yang efektif untuk mendapatkan engagement, yang mendapatkan interaksi karena orang merasa ini bukan iklan. Ini bedanya dengan soft selling,” kata Om Bud.

 

Storytelling Ada di Mana?

Storytelling ada di irisan antara soft selling dan covert selling. Harapannya adalah kita akan mendapatkan bibit unggul. Iklan kita disukai dan sekaligus banyak yang nge-share,” jelas Om Bud.

Kemudian, Om Bud membacakan cerita yang ditulis oleh Subiakto Priosoedarsono berikut.

 

Habis benerin NOTE-5 di North Bridge PIM saya mampir ke bakmi GM kangen sama Puyunghay yang menurut saya memang nomer satu di dunia.

Saya order sepiring nasi goreng dan seporsi Puyunghay.

Sambil menunggu Puyunghay tiba, saya foto-foto nasi goreng sepuasnya. Takut keburu dingin, saya makan nasi goreng dikit-dikit sambil nunggu Puyunghay datang.

Sialnya, sampai nasi goreng habis, Puyunghay sialan itu belum juga tiba. Lalu saya pakai jurus pamungkas yang selalu berhasil. Saya panggil waiter lalu saya bilang, “Order Puyunghay saya batalkan, saya minta uang kembali.”

Lalu saya dengar ribut-ribut dari arah dapur dan sekejap kemudian Puyunghay sialan itu terhidang.

“Bungkus!” kata saya setengah membentak. Dua menit kemudian saya keluar dari resto bakmi GM menenteng bungkusan Puyunghay sialan itu.

Kalau Puyunghay ini rasanya sedang-sedang saja, barangkali saya sudah kapok balik dan bakmi GM saya masukkan ke Brand Hell.

Sayangnya Puyunghay bakmi GM memang enak tenan. Sialaaaann!!

 

Cerita tersebut dijadikan bahan diskusi selama kuliah umum berlangsung. Ada yang mengatakan cerita itu merupakan iklan karena si penulis memuji kelebihan brand. Namun ada pula yang mengatakan itu bukan iklan, melainkan curhatan karena berisi hujatan terhadap brand.

Om Bud sendiri menjelaskan hanya sang penulislah yang tahu itu iklan atau curhatan. Namun, Om Bud tidak mau meminta konfirmasi ke penulisnya. Om Bud membiarkan misteri itu tetap menjadi misteri karena di situlah kekuatan storytelling.

"Sebuah storytelling yang bagus adalah yang seperti itu. Kita sulit menentukan itu iklan atau curhatan. Ketika kita sulit menentukannya, itulah indikator storytelling kita luar biasa," kata Om Bud.

Kuliah umum “Storytelling dalam Iklan” masih dapat diakses di sini.

(scs)

 

 kembali