Berita

Bahasa Indonesia: Janji yang Teringkari?

02-05-2021 15:44:35 WIB 

Nama Mohammad Tabrani Soerjowitjirto sepertinya masih asing di telinga masyarakat Indonesia. Padahal, peran mantan ketua Persatuan Djoernalis Indonesia (Perdi) ini sangatlah besar dalam sejarah kelahiran bahasa Indonesia. Beberapa dari kita mungkin lebih akrab dengan nama Muhamad Yamin, Soegondo Djojopoespito, atau W. R. Supratman. Ya, mereka adalah tokoh-tokoh yang terlibat dalam Sumpah Pemuda.

Sesungguhnya, di balik sejarah Sumpah Pemuda yang sering kita dengar, terselip kisah perjuangan seorang jurnalis asal Madura. Dialah Tabrani, tokoh pencetus lahirnya bahasa Indonesia. Ia mengusulkan penamaan bahasa Indonesia untuk menggantikan bahasa Melayu dalam perumusan Sumpah Pemuda. Perlu diketahui, saat itu bahasa Melayu memang telah menjadi lingua franca antar komunitas di Nusantara.

Menurut Tabrani, jika tumpah darah dan bangsa disebut Indonesia, maka bahasa persatuannya juga harus disebut Indonesia. Di kemudian hari, dalam buku Masa-masa Awal Bahasa Indonesia, Harimurti Kridalaksana menulis bahwa 2 Mei 1926 adalah hari kelahiran bahasa Indonesia, selaras dengan hari saat Tabrani menyatakan usulnya tersebut.

Sayangnya, eksistensi bahasa Indonesia kini justru seperti telur di ujung tanduk. Penggunaan bahasa Indonesia seakan kurang diminati oleh warganya sendiri. Hal ini tentu memprihatinkan, menengok bagaimana para tokoh kemerdekaan dahulu begitu berjuang keras dengan segenap keteguhan mereka untuk mendapatkan pengakuan identitas bahasa Indonesia.

Sekarang, mungkin beberapa dari kita ada yang berpikir bahwa berbahasa Indonesia itu kuno dan kurang elite. Lalu kita berlomba-lomba untuk menggunakan bahasa asing, bukan untuk memperkaya wawasan, namun untuk memenuhi gengsi. Bukankah ini berarti kita mengingkari janji kita untuk “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”?

 

Lebih dari sekadar bahasa

Bahasa Indonesia tidak lahir serta merta karena keinginan kelompok perjuangan atau formalitas untuk Sumpah Pemuda saja. Bahasa Indonesia adalah identitas masyarakat Indonesia. Kita tahu bahwa bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku, ras, dan bahasa sepanjang Sabang hingga Merauke.

Perbedaan itu dapat melebur menjadi satu saat kita memiliki suatu identitas bersama. Bahasa Indonesia adalah identitas itu. Bukan hal sepele tentunya jika bahasa Indonesia turut masuk dalam Sumpah Pemuda. Harapannya, generasi penerus dapat melestarikan bahasa persatuan ini.

Peraturan tentang penggunaan bahasa Indonesia juga telah ditetapkan dalam UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan pada Bab III. Bahasa Indonesia adalah jati diri bangsa, kebanggaan nasional, sarana pemersatu, dan sarana komunikasi untuk masyarakat Indonesia yang multikultural.

Kemudian, ada Peraturan Presiden (Perpres) No. 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Presiden Jokowi dua tahun yang lalu.  Perpres ini mengulas rincian UU No. 24 Tahun 2004 tentang penggunaan bahasa Indonesia bagi para pegawai pemerintahan dan masyarakat umum, baik dalam kegiatan sehari-hari maupun forum internasional. Setidaknya, pemerintah pun berupaya melestarikan budaya berbahasa Indonesia yang kini kian redup pamornya.

 

Bertanggung jawab dalam berbahasa

Tidak dapat dimungkiri bahwa penggunaan bahasa Indonesia saat ini mengalami penurunan. Banyak generasi muda yang kurang melek sejarah sehingga mengacaukan makna dan tujuan bahasa Indonesia. Sudah bukan rahasia lagi jika anak-anak muda kota hingga dusun sering mencampuraduk bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris agar diangggap lebih keren dan kekinian.

Fenomena ini sering disebut dalam sosiolinguistik sebagai interferensi bahasa. Hal ini memang kerap terjadi dalam masyarakat multilingual. Meski begitu, peristiwa ini tidak berarti terus menerus dapat ditoleransi. Interferensi bahasa bukanlah sesuatu yang baik melihat akibat yang sudah ditimbulkannya sejauh ini. Kita semakin jauh dari budaya sendiri. Hal ini juga menunjukkan adanya krisis identitas.

Masyarakat Indonesia perlu belajar untuk mengindonesiakan lagi bahasa Indonesia. Menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar bukan berarti anti bahasa asing sama sekali. Bahasa asing dan bahasa daerah harus dipahami sebagai bahasa pendukung atau bahasa kedua. Dalam artian, bahasa Indonesia tetap harus diutamakan pemakaiannya baik dalam forum formal maupun informal.

Kita harus konsisten dalam berbahasa Indonesia. Jangan sampai keberadaan UU No. 24 Tahun 2009 sampai Perpres No. 63 Tahun 2016  hanya sebagai formalitas belaka. Sebagai langkah awal, kita dapat belajar untuk tidak mencampuraduk bahasa saat berbicara dan meminimalisir penggunaan kata-kata serapan.

Selanjutnya, kita perlu menumbuhkan budaya baca untuk memperkaya kosakata. Tidak masalah apakah kita memakai bahasa Indonesia, bahasa daerah, atau bahasa asing sekalipun, hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana memakai bahasa tersebut sesuai tatanannya. Dengan belajar menggunakan bahasa yang baik dan benar, kita turut menghargai dan menghormati bahasa tersebut.

Semoga kita dapat semakin bertanggung jawab dalam berbahasa. Terlebih, semoga kita dapat memperbaiki dengan menepati janji kita untuk selalu menjunjung dan menggunakan bahasa Indonesia. Selamat memperingati Hari Kelahiran Bahasa Indonesia!

Penulis: Reni Nurari

 kembali