Berita

Pentingnya Memahami Perubahan Paradigma dalam Kajian Bahasa

29-04-2021 15:27:04 WIB 

Sekurang-kurangnya ada empat paradigma dalam kajian bahasa, yaitu paradigma filsafat, paradigma historis, paradigma formal, dan paradigma fungsional. Pemahaman tentang perubahan paradigma dalam kajian bahasa bermanfaat untuk menambah dan memperluas objek, teori, dan metode pengkajian bahasa. Perubahan paradigma dalam kajian bahasa bukanlah meniadakan hasil-hasil kajian bahasa yang berparadigma lama, melainkan justru mengakumulasikannya.

Hal tersebut diulas oleh Prof. Dr. Praptomo Baryadi Isodarus, M.Hum. dalam artikelnya yang berjudul “Perubahan Paradigma dalam Kajian Bahasa”. Artikel tersebut dimuat di Jurnal Ilmiah Prodi Sastra Indonesia USD, Sintesis Volume 15, No. 1, Edisi Maret 2021.

Praptomo menjelaskan, bahasa merupakan salah satu identitas manusia yang membedakannya dengan makhluk lain.

“Oleh sebab itu, tidaklah berlebihan apabila ada sejumlah filsuf atau pemikir yang mendefinisikan manusia sebagai makhluk yang memiliki kemampuan berbahasa, misalnya manusia adalah makhluk bertutur (homo loquens), makhluk bersimbol (animal symbolicum), atau makhluk bertanda (homo semioticus),” tulis guru besar bidang linguistik di Prodi Sastra Indonesia USD ini.

Dijelaskan pula, bahasa memiliki hubungan erat dengan akal budi manusia. Dengan mengutip pendapat Chauchard, Praptomo mengatakan, bahasa membuat manusia disebut sebagai homo sapiens karena manusia bertutur (loquens).

“Dalam rangka mengembangkan akal budi manusia, di samping dipelajari, bahasa juga dikaji secara ilmiah. Pengkajian bahasa secara ilmiah terhadap bahasa menghasilkan pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan tentang bahasa. Ilmu pengetahuan tentang bahasa disebut linguistik atau ilmu bahasa,” lanjut penulis buku Teori-Teori Linguistik Sesudah Strukturalisme ini.

Menurut hasil penelusuran pustaka yang dilakukannya, ditemukan empat paradigma dalam kajian bahasa.

“Dari studi pustaka, dapat diketahui bahwa selama 25 abad perkembangan ilmu bahasa, sekurang-kurangnya telah terjadi empat macam perubahan paradigma dalam kajian bahasa, yaitu paradigma filsafat, paradigma historis, paradigma formal, dan paradigma fungsional,” ungkap dosen yang akrab disapa Pak Prap ini.

 

Paradigma Filsafat

Kajian bahasa berparadigma filsafat sudah dimulai sejak abad ke-5 sebelum Masehi sampai akhir abad ke-18 sesudah Masehi. Hal yang diperdebatkan antara lain berkaitan dengan asal mula bahasa, apakah muncul secara alamiah atau konvensional.

“Kajian bahasa berparadigma filsafat ini menghasilkan Tata Bahasa Tradisional. Hal yang dominan dibahas dalam Tata Bahasa Tradisional adalah kelas kata, kategori kata, atau golongan kata (parts of speech). Golongan kata yang merupakan warisan Tata Bahasa Tradisional sampai sekarang merupakan bagian yang penting dari tata bahasa modern,” jelas Praptomo.

Pengaruh Tata Bahasa Tradisional ini masih terasa pada buku-buku tata bahasa Melayu dan Indonesia pada awal sampai pertengahan abad ke-20.

 

Paradigma Historis

Kajian bahasa berparadigma historis atau sering disebut Linguistik Historis Komparatif dan Linguistik Bandingan Historis berkembang pada abad ke-19. Dengan mengutip pendapat Keraf, Praptomo menjelaskan tujuan kajian bahasa berparadigma historis adalah mengelompokkan bahasa sesuai dengan rumpunnya, merekonstruksi bahasa purba, dan menemukan pusat-pusat persebaran bahasa purba tersebut.

“Berdasarkan tujuannya tersebut, hasil kajian bahasa berparadigma historis komparatif adalah klasifikasi genetis bahasa bahasa, kerabat-kerabat bahasa, atau rumpun-rumpun bahasa di dunia dan asal suatu bahasa, asal suatu bangsa, dan teori migrasi bahasa,” jelas Praptomo.

Salah satu hasil kajian bahasa berparadigma historis adalah deskripsi tentang rumpun bahasa di Nusantara dan sekitarnya yang disebut rumpun Austronesia. Kajian tentang rumpun Austronesia di Indonesia tersebut berada dalam rentang waktu yang beriringan dengan berkembangnya pengaruh Tata Bahasa Tradisional dalam kajian bahasa Indonesia.

 

Paradigma Formal

Paradigma formal dalam kajian bahasa dimulai pada awal abad ke-20 dengan tokoh utama, Ferdinand de Saussure, seorang ahli bahasa berkebangsaan Swiss. Dari paradigma ini lahirlah aliran linguistik struktural.

“Salah satu gagasan penting dari Ferdinand de Saussure yang mengubah paradigma historis ke paradigma formal adalah kajian bahasa secara diakronis dan kajian bahasa secara sinkronis,” ungkap Praptomo.

Kajian sinkronis terhadap bahasa berfokus pada struktur internal bahasa. Gagasan tersebut melahirkan konsep-konsep baru tentang bahasa, seperti langue-parole, penanda (signifier)-petanda (signified), dan hubungan sintagmatis-paradigmatis.

Praptomo juga menjelaskan, selain Saussure ada pula tokoh strukturalis lain yang hidup pada waktu yang hampir bersamaan, yaitu Leonard Bloomfield yang menulis buku monumental berjudul Language.

“Linguistik struktural telah berhasil mengungkap unsur internal bahasa. Unsur internal bahasa adalah bentuk (form) dan makna (meaning). Bentuk adalah unsur internal bahasa yang berupa lambang bunyi, baik bunyi segmental maupun bunyi suprasegmental,” tambah Praptomo, “Makna adalah unsur bahasa yang berupa konsep yang dilambangkan oleh bunyi.”

Menurut Praptomo, linguistik struktural telah menghasilkan kaidah-kaidah kebahasaan yang kemudian dimanfaatkan dalam penyusunan pedoman berbahasa seperti tata bahasa dan kamus.

 

Paradigma Fungsional

Menjelang abad ke-21, paradigma dalam kajian bahasa bergeser ke arah fungsional. Hal tersebut disebabkan keterbatasan linguistik struktural dalam mengkaji segi-segi eksternal bahasa atau konteks.

“Paradigma fungsional memiliki pandangan dasar bahwa penggunaan bahasa manusia itu tidak semata-mata berhubungan dengan faktor-faktor internal (di dalam) bahasa, tetapi juga berkaitan dengan faktor-faktor eksternal (di luar) bahasa,” jelas Praptomo.

Paradigma fungsional ini melahirkan cabang-cabang linguistik yang bersifat interdisipliner, seperti sosiolinguistik, pragmatik, linguistik sistemik fungsional, dan analisis wacana kritis. Teori semiotika Charles Sanders Peirce tentang ikon, indeks, dan simbol disebut Praptomo menguatkan paradigma fungsional dalam kajian bahasa.

Paradigma fungsional ini ternyata juga memengaruhi pembelajaran bahasa Indonesia di kurikulum nasional.

“Sejak tahun 1984 hingga sekarang pembelajaran bahasa Indonesia menggunakan pendekatan komunikatif. Bahkan dalam Kurikulum 2013 pembelajaran bahasa Indonesia berbasis teks,” tulis Praptomo.

Artikel lengkap tentang perubahan paradigma kajian bahasa ini dapat diunduh di sini. (scs)

 kembali