Berita

Feature Prof. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum

09-04-2013 11:46:33 WIB 

Prof. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum:

SI BUNGSU YANG SARAT PRESTASI

 

"Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran." (1 Yohanes 3:18).

 

Mencapai derajat guru besar dalam usia 51 tahun merupakan sebuah prestasi tersendiri bagi Prof. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum. “Ini mungkin memecahkan rekor USD, karena ia masih berusia relatif muda,” ujar seorang rekan dosen Jurusan Sastra Indonesia. 

Pak Prap, demikian dia akrab disapa, merupakan sosok dosen, teman, dan pimpinan yang bersahaja, ramah, dan bersahabat dengan semua orang, termasuk dengan mahasiswa-mahasiswanya. Kehadirannya senantiasa membawa suasana damai dan  menyenangkan.

Apa rahasianya selalu menciptakan suasana damai dan menyenangkan?  “Sebagai pimpinan LPPM kemudian Fakultas Sastra, saya berusaha membedakan antara urusan-urusan dinas dengan urusan pribadi. Ini penting agar pendekatan kita tidak keliru. Jangan sampai persoalan pribadi dikaitkan dengan kedinasan, atau sebaliknya urusan dinas mengganggu hubungan pribadi. Prinsip ini saya pegang teguh agar  tercipta suasana kerja yang menyenangkan,” ujar Pak Prap, si anak bungsu yang tekun dan pekerja keras. 

 

Lahir dari Keluarga Guru

            Praptomo Baryadi lahir di Kulon Progo, 4 April 1960 dari keluarga guru. Ayahnya, Rafael Martobudihardjo adalah pensiunan Kepala Sekolah SDN Karangsari, Kalibawang, Kulon Progo. Ia bungsu dari delapan bersaudara dengan hanya seorang saudari perempuan. Masa kecil dan remaja dihabiskannya dalam kehangatan keluarga bersama ketujuh saudaranya di Kalibawang, Kulon Progo. “Sebagai anak bungsu, saya selalu mendapat perhatian lebih dari orang tua dan kakak-kakak saya. Kakak-kakak sayalah yang mencari sekolah untuk saya sejak SMP, SPG, sampai dengan Perguruan Tinggi. Sekalipun demikian, saya terus dimotivasi untuk berjuang dan bekerja keras,” kenang Pak Prap sambil menambahkan bahwa ia masuk ke Fakultas Sastra UGM juga atas dorongan kakaknya. Sang kakak, Yohanes Tri Mastoyo Jatikesumo  sudah terlebih dahulu menjadi mahasiswa di sana. “Biar kalau belajar menggunakan buku yang sama, saya akhirnya mengikuti kakak saya di Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra UGM,” tambah Praptomo. Drs. Yohanes Tri Mastoyo Jatikesumo, MS saat ini merupakan dosen tetap Fakultas Ilmu Budaya, UGM dan sedang menyelesaikan pendidikan S3-nya.

            Selain menghargai perhatian dan dorongan kakak-kakaknya, Praptomo juga mengagumi ayahnya. “Saya punya kebanggaan tersendiri terhadap ayah saya. Dia benar-benar pekerja keras. Dia mendirikan sekolah-sekolah di daerah-daerah terpencil. Semua anaknya diwajibkan untuk bersekolah. Tidak hanya pendidikan yang diperhatikan, anak-anaknya juga diwarisi tanah,”  tutur Pak Prap yang juga menerima warisan tanah seluas 1,5 HA dari sang ayah. “Ibu saya, Ignatia Kasmi Martopudihardjo, meskipun hanya lulusan Sekolah Rakyat tetapi merupakan ibu yang bijaksana, ibu yang senantiasa bersyukur dan berdoa bagi anak-anak, cucu, dan cicitnya, ibu yang mendukung semua upaya ayah saya dengan ikut berjualan. Ia ibu yang sangat beriman dan baik hati,” kenang Pak Prap dengan penuh kebanggaan.

            “Waktu sekolah di SMP Pangudi Luhur Boro (1973-1975), saya harus berjalan kaki 14 km perhari. Itu saya tekuni selama tiga tahun. Kadang-kadang naik sepeda tetapi harus memutari bukit dan jaraknya lebih jauh. Meskipun demikian, saya jalani itu dengan senang hati,” kata Pak Prap sambil tersenyum.

 

 

Masa-masa di Van Lith (1976-1979)

            “Lulus SMP Boro, saya mengikuti tes masuk SPG Van Lith Muntilan dan diterima. Sekarang SPG Van Lith sudah berubah menjadi SMA Van Lith dan menerima murid wanita. Dulu SPG Van Lith mirip pendidikan di seminari:  semua muridnya laki-laki, harus tinggal di dalam asrama, semua acara baik di sekolah maupun di asrama terjadwal, menekankan kedisiplinan, dan memperhatikan kehidupan rohani siswa. Waktu diam atau silentium juga diberlakukan. Olah raga dan kesenian juga mendapat porsi pembinaan yang cukup banyak,” papar Praptomo yang masih menyimpan banyak kenangan semasa sekolah di Van Lith.

            “Bagi saya yang sangat mengesankan dari pendidikan di Van Lith adalah upaya para pengajarnya dalam mengembangkan potensi personal sekaligus kepekaan sosial murid-muridnya. Jika ada yang sakit, teman semeja makan harus mengantarkan makanan ke kamar sakit dan menemaninya makan. Dalam bidang pertanian, setiap murid diberi sebedeng sawah masing-masing seluas 3 x 4 m2. Anak-anak bebas menanaminya dengan aneka sayur-sayuran: buncis, terong, kacang panjang, tomat, bawang. Ada juga yang memilih beternak ayam. Hasilnya dipanen untuk dikonsumsi bersama. Nah, dari hasilnya akan terlihat anak yang malas dan rajin,” terang Pak Prap sambil tertawa lepas.

            Di SPG Van Lith, ada semacam kewajiban bagi siswanya untuk mengajar agama Katolik di stasi-stasi seminggu sekali. “Pihak sekolah menyediakan sepeda. Kegiatan ini sangat menyenangkan. Kami bersepeda sampai ke lereng-lereng  Gunung Merapi hanya untuk mengajar agama. Lulusan SGP Van Lith pun mendapat dua ijazah, ijazah sebagai guru umum dan ijazah sebagai guru agama,” tutur Ptaptomo bangga.

 “Latihan kepemimpinan juga sangat diutamakan di Van Lith. Setiap murid,  misalnya, diwajibkan menjadi dirijen dalam acara-acara tertentu, termasuk dalam perayaan ekaristi. Ada juga forum untuk berdiskusi dan berdebat tentang topik-topik tertentu,” kenang Praptomo. Untuk diketahui, ada banyak alumni yang terkenal dari Van Lith, seperti Y. B. Mangunwijaya –seorang pastor, budayawan, dan sastrawan terkemuka—dan Frans Seda –seorang Menteri dalam Kabinet Soekarno, salah satu perintis dan pendiri Partai Katolik dan Harian Kompas. Praptomo menegaskan bahwa di Van Lith, kebiasaan membaca dan semangat belajar mandiri dilatih dengan baik.

 

Kuliah di UGM (1980-1985)

            Lulus dari SPG Van Lith, Praptomo melanjutkan kuliahnya ke Fakultas Sastra Uiversitas Gadjah Mada. Semasa kuliah di Fakultas Sastra UGM, Praptomo Baryadi aktif dalam berbagai organisasi intra maupun ekstra-kampus. Di dalam kampus, ia tergabung dalam Biro Penalaran Senat Mahasiswa Fakultas Sastra. Ia juga selalu mengikuti kegiatan Misa Kampus, meskipun tidak pernah tercatat sebagai pengurusnya. Di luar kampus, Praptomo tercatat sebagai salah satu anggota Kelompok Studi Dasakung pimpinan Bambang Sigap Sumantri. “Kelompok Studi Dasakung pernah menghasilkan sebuah laporan ilmiah yang menghebohkan tentang banyaknya kasus kumpul kebo di Yogyakarta. Waktu itu fakta yang diangkat menimbulkan polemik dan pro-kontra dalam masyarakat karena merupakan masalah yang sensitif,” terang Pak Prap.

            “Kemandirian belajar yang sudah terpupuk di Van Lith terbawa terus sampai ke UGM. Saya pikir pada level mahasiswa, kemandirian belajar merupakan sebuah keharusan. Saya merasakan bahwa di UGM kemandirian belajar itu sangat kuat,” tutur Pak Prap. Alhasil, ia juga memiliki semangat yang tinggi untuk menulis dan mempublikasikan berbagai artikel di Kedaulatan Rakyat dan Suara Karya.  

            Tahun 1985, Praptomo Baryadi menyelesaikan pendidikan Sarjana S1 dari UGM dengan skripsi berjudul Substitusi Sebagai Penanda Hubungan Antar-Kalimat dalam Bahasa Indonesia dengan pembimbing Prof. Mohammad Ramlan.

 

Pendidikan, Pengabdian, dan Penelitian

            Lulus dari UGM tahun 1985, I. Praptomo Baryadi langsung bekerja sebagai dosen di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FPBS, IKIP Sanata Dharma (1986-1993). Sejak IKIP Sanata Dharma berubah menjadi Unversitas Sanata Dharma, Praptomo tercatat sebagai dosen tetap Prodi Sastra Indonesia  (1993 – sekarang). “Saya langsung mendaftar sebagai PNS tahun 1986 dan diangkat sebagai PNS terhitung mulai 1 Februari 1987.

            Setelah lima tahun hidup membujang, Praptomo akhirnya bertemu dengan kekasihnya, Dra. Yosefa Niken Sasanti, kini guru SMPN 5 Yogyakarta. “Saya bisa disebut pengguna lulusan karena saya menikah dengan mantan mahasiswa sendiri dari Jurusan  Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FPBS, IKIP Sanata Dharma,” kelakar Praptomo yang memang dikenal suka menebar humor. Mereka pun menikah di kota Kudus, Jawa Tengah, tanggal 19 Januari 1992.  Dari pernikahan tersebut, keluarga Praptomo Baryadi dikaruniai dua putra: Stephanie Tesesia Uliartha (Tessa), lahir 1 Agustus 1993. Tessa  saat ini tercatat sebagai mahasiswa Pendidikan Dokter UGM. Kedua, Yosef Brian Yudhalaksana (Yudha), lahir 23 Februari 1995. Yudha kini siswa kelas XI SMAN 3 Yogyakarta.

            Tahun 1991, Praptomo mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan S2 di UGM yang diselesaikannya tahun 1994 dengan tesis berjudul Afiks Me-(N) dan Afiks Di-: Tinjauan Morfologis, Sintaksis, dan Pragmatis. Pembimbing utama tesis S2nya adalah Prof. Stephanus  Djawanai, PhD. Tahun 1995, ia melanjutkan pendidikan S3-nya, juga di UGM dan diselesaikan tahun 2000. Disertasi yang ditulisnya berjudul Ikonisitas Diagramatik pada Tataran Kalimat dalam Wacana Bahasa Indonesia. Promotornya adalah Prof. M. Ramlan, ko-promotornya Prof. Dr. Harimurti Kridalaksana, dan ketua Tim Penilai: Prof. Dr. Steph Djawanai.

Berkarya selama 25 tahun di Universitas Sanata Dharma, I. Praptomo Baryadi tak pernah lepas dari Jabatan Struktural. Ia senantiasa mendapat kepercayaan sebagai pemimpin. Tahun 1987-1989, ia menjabat sebagai Sekretaris JurusanPendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FPBS, IKIP Sanata Dharma. Tahun 1993-1995, ia menjabat sebagai Pembantu Dekan III Fakultas sastra USD; 2000 – 2004 sebagai Pembantu Dekan I  Fakultas sastra USD; 2004-2006 Ketua Lembaga Penelitian Universitas Sanata Dharma; 2006 – 2008 Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Sanata Dharma. Tahun 2006 – 2010 Kepala Departemen Penelitian, Penerbitan, dan Kerja Sama pada LPPM USD. Tahun 2008 – 2012, dipercaya sebagai Dekan Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma.

“Keprihatinan saya sebagai Kepala LPPM adalah masih rendahnya produktivitas dosen USD dalam bidang penelitian. Padahal lembaga ini sudah menjadi universitas, bukan IKIP lagi. Sampai sekarang produktivitas kita di bidang penelitian masih sangat rendah. Ini memprihatinkan,” kata Praptomo dengan wajah serius.

“Untuk pengembangan Fakultas Sastra, kami sedang merintis Pendidikan Magister dalam bidang Indonesian Studies atau Kajian Indonesia. Gagasan awalnya sudah dirumuskan dan akan segera dilakukan studi kelayakan, penyusunan kurikulum, pengurusan ijin, dan penataan-penataan lainnya. Semoga gagasan ini segera terealisasikan dalam waktu dekat ini,” tutur Dekan Fakultas Sastra itu.

 

Sarat Prestasi

Selain jabatan-jabatan struktural yang diaembannya di lingkungan kampus USD, I. Praptomo Baryadi juga memiliki sejumlah jabatan dan kegiatan di luar kampus.  Beberapa di antaranya adalah penasihat ahli Forum Bahasa Media Massa (FBMM) Yogyakarta, pengurus Himpunan Pembina Bahasa Indonesia (HPBI) Cabang Yogyakarta, anggota Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI), anggota tim penilai dan penguji disertasi di Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, dan konsultan penelitian pada Balai Bahasa Yogyakarta.

Penghargaan yang diraihnya atas prestasi kerjanya sudah cukup banyak, baik di tingkat kampus maupun di tingkat nasional. Ia adalah penerima penghargaan dosen berprestasi (Dosen Teladan) I Tahun 1991 Tingkat Kopertis Wilayah V. Di tingkat nasional, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, memberinya penghargaan sebagai Finalis Dosen Berprestasi (Teladan) tahun 1991. Ia juga menerima penghargaan Aditya Tridarma Nugraha tahun 1991 dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Direktur Program Pascasarjana UGM menganugerahkan Penghargaan Lulusan S2 Terbaik. Tahun 2011, Praptomo Baryadi juga menerima Penghargaan 25 Tahun berkarya di Universitas Sanata Dharma.

Dalam bidang publikasi ilmiah, Praptomo Baryadi menjadi mitra bestasi (Penyunting Ahli) berbagai jurnal ilmiah seperti Humaniora: Jurnal Budaya, Sastra, dan Bahasa, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Widyaparwa: Jurnal Ilmiah Kebahasaan dan Kesastraan, Pusat Bahasa, Balai Bahasa Yogyakarta, Racmi: Media Informasi, Komunikasi, dan Pengembangan Sumberdaya, Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) di Yogyakarta, Sintesis: Jurnal Ilmiah Kebudayaan. Pusat Kajian Bahasa, Sastra, dan Kebudayaan Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma Sintesis: Jurnal Ilmiah Kebudayaan. Pusat Kajian Bahasa, Sastra, dan Kebudayaan Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma, Jurnal Penelitian: Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Sanata Dharma, dan Arah Reformasi Indonesia: Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Sanata Dharma.

Secara khusus dalam bidang penelitian, penerbitan buku, artikel, dan makalah ilmiah, I. Praptomo Baryadi memiliki sebuah daftar yang sangat panjang. Bukunya Morfologi dalam Ilmu Bahasa (2011) telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Christopher Allen Woodrich. 

 

Epilog

            Prof. Dr. I.Praptomo Baryadi, M.Hum, seperti sudah disebutkan di atas, adalah sosok dosen, teman, dan pimpinan yang bersahaja, ramah, dan bersahabat dengan semua orang, termasuk dengan mahasiswa-mahasiswanya. Jabatan-jabatan struktural senantiasa diembannya secara terus-menerus, namun produktivitas karya ilmiahnya tak pernah surut.

Cukup banyak pemimpin yang ingin memperbaiki suasana atau bawahannya dengan pendekatan hukum, yaitu dengan menunjukkan kesalahan dan memberikan sanksi. Tapi pendekatan positive thinking Pak Praptomo ternyata lebih persuasif, simpatik dan menyentuh. Membangun manusia dengan mengangkat sisi positif seseorang jauh lebih efektif. Memberikan pujian, mengakui prestasi, memaafkan, memahami keterbatasan orang lain, memberikan kesempatan untuk berubah akan membawa hasil lebih baik daripada mencela, memaki-maki atau menghukum seseorang.
            Semua itu adalah perwujudan kasih dalam bentuknya yang paling nyata. Seperti ditulis dalam surat Yohanes, "Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran" (1 Yohanes 3:18). Si Bungsu yang sarat prestasi itu pun kini menyandang gelar Guru Besar Universitas Sanata Dharma. Ia layak mendapatkannya. “Selamat Pak Prap, eh, Prof. Dr. I. Praptomo Baryadi, M,Hum.!” (Yoseph Yapi Taum)

 

 

 kembali